Kinerja Organisasi diukur dari Aspek Kualitas dan Kuantitas

Kutipan wawancara Wartawan FAJAR Nurlina Arsyad mewawancarai Guru Besar Ilmu Administrasi Publik, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Makassar Prof.Amir Imbaruddin,MDA,PhD usai Pengukuhannya,Sabtu Tanggal 22 Mei 2010 lalu.

Saat orasi,Anda mengangkat kinerja organisasi publik,kuantitas atau kualitas,atau kualitas dan kuantitas.Apa maksudnya?
Memang kalau sekilas agak susah dipahami,padahal maksudnya sangat sederhana.Apakah kita mau mengukur kenerja organisasi pemerintah itu dengan ukuran-ukuran kuantitas atau dengan ukuran-ukuran kualitas. Dan saya mengatakan tidak salah satunya,karena harus diukur kedua-duanya,baik ukuran kuantitas maupun kualitas.

Kenapa Anda mengangkat hal itu?
Yang terjadi hari ini,organisasi pemerintah kita kinerjanya lebih banyak diukur dengan ukuran-ukuran kuantitas sehingga melupakan ukuran kualitas.Padahal kualitas juga sangat penting,dan kalau tetap memakai ukuran kuantitas saja,ada aspek-aspek lain yang bisa jadi tidak terukur.
Salah satu cintohnya,pemerintah daerah mengukur keberhasilan SKPDnya itu dari PAD yang dikumpulkan.Padahal PAD itu bisa jadi kelihatannya berhasil padahal sebenarnya tidak berhasil.Karena banyak masalahnya,bisa jadi data yang ada itu dimanipulasi,ada data yang disembunyikan atau sebenarnya target PADnya tidak tercapai.Tapi ditalangi dulu supaya kelihatan tercapai.Sehingga tidak nampak bagaimana kualitas SKPD itu, kita memberikan layanan dalam mendapatkan PAD itu.
Itulah yang menjadi alasan kenapa saya menawarkan itu,karena waktunya sekarang untuk mengukur kinerja pemerintah secara luas,kuantitas penting tapi kualitas juga penting.

Apa indikator mengukur kuantitas dan kualitas layanan publik?
Kalau kuantitas itu kan jelas ukuran-ukurannya.Misalnya,target-target berapa ratus juta PAD yang bisa diterima, PBB yang ditagih tahun ini berapa besar,pajak yang bisa dikumpulkan dari masyarakat berapa besar,apakah dia efesien atau efektif,itu semua ukuran-ukuran kuantitas.
Kalau ukuran kualitas seperti teori yang ada,itu harus diukur berdasarkan penilaian orang yang menerima layanan itu.Apakah dia puas atau tidak.Kalau dia puas berarti dia berkualitas,tapi kalau tidak puas berarti tidak berkulitas Karena tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Sehingga itulah yang secara kuantitatif berhasil tetapi secara kualitas tidak berhasil karena tidak memuaskan masyarakat.
Yang mana saja, organisasi publik yang anda maksud itu?
secara umum dinas-dinas yang ada di daerah,puskesmas,kantor pajak,kepolisian,dan semua ukuran-ukuran yang saya katakan tadi itu memakai ukuran kuantitas.Polisi misalnya diukur berhasil karena dia sudah menangkap sekian orang teroris,sudah menangkap sekian banyak penjahat.Tapi tidak ada ukuran waktu mereka menangkap bagaimana caranya,prosesnya bagaimana,sehingga bisa saja dia melanggar HAM tetapi itu sudah dianggap berhasil karena mematikan sekian banyak penjahat.
Sama dengan rumah sakit,kenapa ada puskesmas dihitung PADnya.Puskesmas itu kan untuk menyehatkan orang,seharusnya kalau orang semakin sehat itu ukuran kualitas.Jadi kalau misalnya dapat PAD sekian ratus juta karena banyak orang sakit.Padahal kalau PAD mau diukur,berarti banyak orang yang harus datang ke puskesmas. Padahal,puskesmas itu diukur semakin tidak ada orang yang datang,itu semakin sehat sehingga bisa dikatakan berhasil.

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja organisasi publik?
Banyak hal yang mempengaruhi,
- pertama
;salah satu aspeknya,termasuk masalah budaya,bagaimana budaya birokrasi kita yang cenderung masih melihat dirinya sebagai orang yang mau dilayani bukan sebagai orang yang mau melayani.
-Kedua
;aspek yang lainnya memang kemampuan atau kualitas sumber daya dari pegawai pemerintah kita masih sangat memprihatinkan,sehingga dia hanya bisa memberikan layanan kalau ukurannya hanya sebatas kuantitas-kuantitas tadi itu.
- Ketiga;sampai sekarang aturan juga belum menuntut organisasi pemerintah agar melakukan pengukuran kinerja berbasis kualitas tadi,semua hanya dituntut dengan ukuran kuantitas.Contohnya;camat dianggap berhasil kalau bisa mencapai target PBB bukan diukur bagaimana penilaian masyarakat terhadap kinerja camat dalam memungut PBB itu.Kita orang Indonesia itu,segala sesuatunya sangat berdasarkan aturan,walaupun salah tapi
kalau menurut aturannya benar,itu juga dianggap benar.Jadi kalau tidak ada aturannya untuk mengukur kualitas, maka mereka tidak mengukur itu.

Secara umum pelayanan publik di Indonesia lamban,berbeli-belit sehingga tidak efektif dan efesien.
Bagaimana menurut Anda?
Saya setuju dengan pendapat itu,bahwa dalam banyak aspek memang pelayanan publik kita masih jauh dari yang diharapkan,karena kalau ukuran-ukuran formal seperti yang diatur oleh undan-undang bahwa pelayanan publik itu harus sederhana,harus tepat waktu,harus mementingkan kepentingan umum dan seterusny,itu semua masih jauh dari yang diharapkan oleh aturan-aturan itu.
Contohnya,di UU No.25 tahun 2009,dikatakan pelayanan publik itu asas pertamanya adalah untuk kepentingan umum dan masyarakat.Tetapi,coba kita lihat apakah betul-betul administrasi publik ini sudah mementingkan kepentingan masyarakat atau tidak.Lihatlah rehabilitasi kantor-kantor pemerintah yang ada sekarang ini.Coba lihat, yang mana duluan diperbaiki,apakah fasilitas masyarakat yang akan datang ke kantor itu.Pagarnya diperbaiki sedemikian rupa,padahal pagar tidak ada hubungannya dengan pelayanan publik.Tapi ketika kita masuk ke dalam, lihat ruang tunggunya,WC,semua sangat memprihatinkan.Begitupun juga dengan tempat parkirnya,yang paling nyaman itu,adalah tempat parkir pimpinan,seharusnya kan tempat parkirnya yang nyaman harus khusus bagi tamu. Jadi memang masih jauh dari aturan.

Kenapa bisa seperti itu?
Ya,itu tadi.Karena ukuran keberhasilan organisasi publik,tidak ada ukuran kualitasnya,yang ada hanya kuantitas saja.Jadi,terserah mau berkualitas atau tidak yang penting PADnya terpenuhi.Sehingga dia dapat penghargaan dari pimpinan daerah,jadi sepanjang pimpinan senang,masyarakat mau mengeluh atau tidak itu tidak ada urusan.

Kalau Sulsel bagaimana Anda melihatnya?
Kalau menurut survei KPK tahun 2009,menempatkan provinsi Sulsel sebagai salah satu provinsi 5 terbesar yang terburuk layanan publiknya,termasuk Sulut,Lampung,DKI Jakarta.Padahal Sulsel misalnya,kalau kita lihat di koran banyak penghargaan keberhasilan yang diterima.Itu sangat berbanding terbalik dengan hasil suvei mengenai kualitas layanan.
Jadi,sekali lagi menguatkan bahwa tidak cukup dengan ukuran-ukuran kuantitas saja.Karena itulah saya setuju dengan DPRD provinsi yang sedang menggodok inisiatif mereka untuk membuat Perda pelayanan publik, agar bagaimana pelayanan publik di Sulsel ini,jadi lebih baik.Kebijakan itu kan dibuat untuk menyelesaikan masalah, dengan adanya Perda itu berarti ada masalah tentang kualitas layanan ini.

seperti dikutip di halaman Harian Fajar, 23 Mei 2010


blog Prof.Amir Imbaruddin,MDA,PhD http://aimbaruddin.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 SEMA STIA LAN |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.